Islam yang diturunkan sebagai din, sejatinya telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban. Sebab kata din itu sendiri telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Artinya dalam istilah din itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika din (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Dari akar kata din dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar madinah atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata hadharah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun.
Menurut Ibn Khaldun, pemikiran yang berkembangan menjadi tradisi intelektual bukanlah satu-satunya faktor tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer serta kesanggupan berjuang untuk meningkatkan kehidupan merupakan faktor lain yang mendukung tumbuhnya pemikiran dan peradaban. Selain itu Ibn Khaldun juga mensinyalir adan hubungan kausalitas antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar volume urbanisasi (’umran) semakin tumbuh pula peradaban dan sains, demikian pula sebaliknya. Ilmu akan berkembang hanya dalam peradaban Peradaban Islam dan kebudayaan Yunani merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Mungkin keimpulan seperti itulah yang muncul ketika penulis membaca buku seorang kristenArab, Jamil Shaliba yang berjudul al-Falsafah al-Arabiyyah. Pilar-pilar peradaban Islam yang berhasil melahirkan filsuf, dokter, astronom, ahli matematika hingga hukum berkelas dunia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jasa-jasa ilmuan yang berasal dari kebudayaan pra-Islam, seperti kebudayaan Yunani, Persia dan India.
Kebudayaan Yunani telah memberikan andil yang sangat besar bagi bangunan peradaban Islam klasik. Filsafat sebagai khazanah Islam telah membuktikan diri sebagai lokomotif utama bagi gerakan pengetahuan yang kemudian menjadi fondasi bagi peradaban Islam. Keterbukaan umat Islam terhadap khazanah klasik pra-Islam memberikan ruang bagi proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India. Proses penerjemahan ini memiliki pengaruh pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam. Filsafat dalam hal ini menjadi bidang yang cukup digandrungi oleh sebagian intelektual Islam pada masa itu.
Lantas bagaimanakah proses penyebaran dan pembentukan filsafat dalam dunia Islam? Filsafat yang berasal dari kata Yunani, Philosophia, berarti cinta kebijaksanaan. Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasaArab menjadi al-falsafah, sementara orang yang menggeluti bidang ini disebut al-falasifah (para filsuf). Filsafat Islam dalam hal ini adalah sebuah produk dari proses pemikiran yang dihasilkan oleh para sarjana muslim klasik setelah mengalami persinggungan dengan kebudayaan Yunani. Karena, seperti yang sudah penulis sampaikan, kata filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani mulai dikenal oleh umat Islam setelah membaca buku-buku pemikir dari Yunani. Orang Islam pertama yang dikenal sebagai filsuf Islam pertama adalah Abu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (Wafat sekitar 257 H/ 870 M).
Uraian tentang transmisi kebudayaan Yunani dalam peradaban Islam, perkembangan yang didasari atas semangat Islam yang menganjurkan untuk mempelajari pengetahuan dari siapa pun berlanjut pada proses penerjemahan besar-besaran selama kurang lebih dua abad, dari awal abad ketujuh hingga akhir abad kedelapan. Proses penerjemahan ini meliputi dari berbagai kebudayaan, khususnya dari Yunani kemudian Persia dan India. Selama kurang dari dua abad ini, yang terjadi adalah sebuah proses penerjemahan yang melibatkan banyak intelektual Kristen Nestorian yang kebetulan mahir dalam beberapa bahasa penting saat itu, Yunani, Suryani danArab. Baru setelah banyak buku-buku dari kebudayaan non-Islam diterjemahkan ke dalam bahasaArab, mulailah bermunculan produk-produk pemikiran yang disebut filsafat Islam.
Perpaduan antara semangat umat Islam dengan kebudayaan pra-Islam melahirkan sebuah sintesa yang tidak sederhana. Sintesa yang dihasilkan bukan hanya sekedar penjiplakan pengetahuan sebelumnya yang kemudian diberi label Islam karena telah diterjemahkan ke dalam bahasaArab. Lebih dari itu, sintesa ini juga meliputi proses reproduksi yang giat dilakukan oleh para ilmuan muslim. Karya-karya filsafat yang diterjemahkan dari bahasa Yunani tidak berhenti hanya pada hasil terjemahan namun telah merangsang para intelektual muslim untuk mengomentari atau sekedar memberikan sebuah penafsiran atas karya-karya filsuf Yunani itu.
Warna kebudayaan ilmiah pra-Islam yang dominan pada pandangan dunia umat Islam dapat kita lihat dalam bentuk corak berpikir rasional atau dalam metode historis yang dikembangkan oleh para periwayat hadits. Dalam teks-teks yang ditulis pada masa itu, cukup banyak metode atau tradisi filosofis yang tersaji dalam kajian-kajian ilmu alam. Terutama pada kajian-kajian yang mendasarkan diri pada matematika. Hukum qiyas atau analogi adalah salah satu pengaruh logika yang dapat kita lihat dalam wilayah fikih. Pengaruh-pengaruh ini menjadi inheren dalam kebudayaan Islam sehingga dalam proses sejarah yang panjang kadang kita sulit untuk membedakan mana yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi.
Beberapa Aliran Filsafat Dalam Islam DiYunani
Cukup sulit untuk mengklasifikasikan kecenderungan filsafat Islam dalam satu aliran yang rigid. Sebagai contoh, paham Neoplatonisme yang berkembang di kalangan filsuf Islam dianggap sebagai titik temu ajaran Plato dan Aristoteles. Padahal, pada saat ini kita mengetahui bahwa dua filsuf ini memiliki jalan yang berbeda dengan Neoplatonisme yang dimaksud. Buku yang dianggap sebagai karya Aristoteles saat itu adalah Theology. Namun belakangan diketahui bahwa buku tersebut adalah karya tambahan dari Enneads-nya Plotinus. Karenanya akan lebih aman bila kita mengatakan bahwa ada banyak corak Neoplatonisme dari pada hanya ada satu corak Neoplatonisme. Hal serupa juga dinyatakan oleh cak Nur dalam bukunya, Islam Doktrin dan Peradaban, bahwa paham Neoplatonisme yang sampai dan berkembang di kalangan filsuf Islam sudah tercampur dengan penafsiran Aristotelianisme. Sementara ajaran Aristoteles yang dipelajari oleh para filsuf Islam sebenarnya sudah bukan ajaran Aristoteles yang murni melainkan ajaran-ajaran dari para penafsir Aristoteles. Sehingga dengan demikian bukan Aristoteles sendiri yang berpengaruh dalam filsafat Islam melainkan Aristotelianisme.
Pada umumnya gaya berfilsafat peripatetik menjadi kecenderungan para filsuf Islam yang berada di wilayah barat seperti Andalusia. Sementara pada aliran Iluminasi, mereka yang mencoba memadukan filsafat Yunani dengan kebijaksanaan timur (oriental wisdom), pada umumnya berdiam di wilayah bagian timur seperti Persia dan Suriah.
Peripatetisme
Filsafat peripatetik dapat kita lihat pada gejala Aristotelianisme. Para filsuf Islam yang masuk dalam kategori filsuf peripatetik diantaranya adalah Ibnu Bajjah (wafat 533 H/ 1138 M), Ibnu Tufail (wafat 581 H/ 1185 M) dan Ibnu Rushd (520-595 H/1126-1198 M). Abad ke-11 menjadi saksi atas munculnya sejumlah ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar ilmiah yang genuine. Puncak dari perjalanan ini ada pada kelahiran kembali Aristotelianisme. Peripatetik yang dalam bahasaArab dikenal dengan nama al-Masyai’yyah berarti orang yang berjalan diambil dari kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan dalam mengajar.
Untuk melihat corak filsafat peripatetik, ada baiknya bila kita melihat beberapa filsuf yang berasal dari wilayah barat ini sekilas. Ibnu Bajjah yang dikenal Avempace dalam bahasa latin telah menempatkan diri sebagai filsuf yang berdiri pada tradisi Neoplatonik-Peripatetik yang diperkenalkan oleh al-Farabi. Bagi Ibnu Bajjah, al-Farabi adalah satu-satunya guru logika, politik dan metafisika yang berasal dari wilayah timur. Tampaknya Ibnu Bajjah memiliki hubungan yang cukup dekat dengan filsuf wilayah timur yang satu ini. Hal ini dapat kita lihat juga pada karya Ibnu Bajjah yang berjudul Tadbir al-Mutawahhid yang mendasarkan pada pemikiran al-Farabi dengan cukup kental. Kedekatannya dengan al-Farabi yang dikenal sebagai guru kedua dalam filsafat di mana guru pertamanya adalah Aristoteles telah memberi warna tersendiri bagi metode filsafat Ibnu Bajjah.
Salah satu pemikiran Ibnu Bajjah adalah tentang empat tipe mahluk spiritual. Tipe pertama adalah bentuk-bentuk dari benda-benda langit (forms of the heavenly bodies) yang sama sekali bersifat imateriil. Ibnu Bajjah menyamakan tipe ini dengan akal-akal terpisah (separate intelligences) yang dalam kosmologi Aristotelian dan Islam diyakini sebagai penggerak benda-benda langit. Tipe kedua adalah akal capaian (mustafad) atau akal aktif yang juga bersifat immateriil. Tipe ketiga adalah bentuk-bentuk materiil yang diabstraksikan dari materi. Sedangkan tipe yang keempat adalah representasi-representasi yang tersimpan dalam tiga daya jiwa: sensus communis, imajinasi dan memori. Seperti bentuk-bentuk materiil, bentuk-bentuk ini juga dinaikkan ke tingkat spiritual melalui fungsi abstraktif yang terdapat pada jiwa manusia. Puncak dari fungsi abstraktif ini ialah pemikiran rasional.
Tokoh filsafat perpatetik lainnya adalah Ibnu Tufail yang lahir di Wadi ‘Asy dekat Granada. Salah satu karya yang cukup terkenal dari Ibnu Tufail adalah sebuah roman yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Judul karya ini memang sama dengan dengan karya yang telah dibuat sebelumnya oleh Ibnu Sina. Dalam buku ini, Ibnu Tufail menekankan kebijaksanaan timur yang dapat diidentifikasikan sebagai tasawuf yang saat itu banyak ditolak oleh banyak filsuf, termasuk Ibnu Bajjah. Melalui karyanya ini, Ibnu Tufail mengaku dapat memecahkan pertentangan yang timbul antara filsafat dan agama atau akal dan iman. Dua hal yang bertentangan ini dapat diumpamakan sebagai kebenaran internal dan kebenaran eksternal yang pada prinsipnya sama-sama kebenaran. Namun dua macam kebenaran ini tidak bisa digeneralisasikan untuk siapa saja tanpa melihat kecerdasan yang dimiliki oleh orang bersangkutan. Karena kebenaran filsafat hanya dapat dicapai oleh orang-orang khusus yang memiliki kecerdasan yang tinggi maka ia tidak bisa diberikan begitu saja kepada orang awam. Sementara kebenaran agama yang melalui kitab suci Alquran yang menggunakan bahasa inderawi dan makna-makna harfiah akan dapat dengan mudah difahami oleh orang pada umumnya (awam).
Ibnu Rushd merupakan tokoh puncak dalam aliran filsafat peripatetik. Karena perkembangan filsafat paska Ibnu Rushd sudah mengambil jalan yang lain, yakni Iluminasi. Ia lahir pada 1126 M di Kordoba dan mempelajari banyak bidang, mulai bahasaArab, fikih, kalam hingga kedokteran. Seorang khalifah pernah memerintahkannya untuk menjelaskan karya-karya Aristoteles karena sangat sulit untuk dipahami. Ibnu Rushd menulis komentar secara komprenhensif mengenai karya-karya Aristoteles kecuali politics. Karya Aristoteles, Physics, Metaphysics, De Anima, De Coelo dan Analytica posteriora dikomentari oleh Ibnu Rushd dalam tiga versi, “komentar lengkap”, “komentar sedang” dan “komentar singkat.” Karya-karya Ibnu Rushd yang lebih orisinal dapat kita baca pada polemiknya dengan Imam al-Ghazali tentang kesesatan para filsuf pada Tahafut al-Tahafut (kerancuan dari buku Tahafut karya al-Ghazali). Atau pada Fashl al-Maqal dan al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah yang menyerang teologi al-Asy’ary dan menjelaskan hubungan filsafat dan agama yang sangat hangat pada saat itu.
Dalam perdebantannya dengan para teolog mengenai penciptaan, Ibnu Rushd banyak diinspirasikan oleh pandangn Aristoteles. Menurut Ibnu Rushd, ‘penciptaan’ merupakan tindakan menggabungkan materi dengan bentuk atau teraktualisasinya potensi menjadi aktus. Jadi penciptaan bukanlah sesuatu yang berasal dari ketiadaan (creatio ex nixilo). Pandangan Ibnu Rushd yang ia petik dari buah pikiran Aristoteles ini berimplikasi pada proses tergabungnya bentuk dengan materi. Tuhan dalam hal ini menjadi pencipta unsur-unsur dari gabungan itu sendiri, yang tak lain adalah alam semesta. Pengabungan ini dapat berlangsung secara terus-menerus atau sekaligus. Bagi Ibnu Rushd, hanya penciptaan yang terus-menerus (ihdats da’im), seperti yang ia katakan dalam Tahafut al-Tahafut yang layak bagi penciptaan alam.
Illuminasionisme
Filsafat iluminasi yang dalam bahasa Arab disebut dengan Hikmat al-Isyraq dapat kita ikuti jejaknya mulai dari al-Maqtul Syihab al-Din al-Suhrawardi. Ia lahir di Aleppo, Suriah pada 1154 dan dihukum mati oleh Shaladin pada 1191 atas tuduhan kafir seperti yang diklaim oleh para teolog dan fuqaha. Dalam banyak risalah, al-Suhrawardi menyatakan bahwa pendapat-pendapatnya sesuai dengan metode peripatetik konvensional yang ia sebut sebagai metode diskursif yang baik. Namun metode tersebut tidak lagi memadai bagi mereka yang berusaha mencari Tuhan atau bagi yang ingin memadukan metode diskursif dengan pengalaman batin sekaligus. Menurut al-Suhrawardi, agar dapat melakukan tugas ini, seseorang dapat mengambil jalur filsafat iluminasi atau Hikmat al-Isyraq.
Inti dari ajaran hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi adalah tentang sifat dan pembiasan cahaya. Cahaya ini, menurutnya, tidak dapat didefinisikan karena merupakan realitas yang paling nyata dan yang menampakkan segala sesuatu. Cahaya ini juga merupakan substansi yang masuk ke dalam komposisi semua substansi yang lain. Segala sesuatu selain “Cahaya Murni” adalah zat yang membutuhkan penyangga atau sebagai substansi gelap. Objek-objek materil yang mampu menerima cahaya dan kegelapan sekaligus disebut barzakh.
Filsuf yang juga banyak diinspirasikan oleh Hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi namun kemudian memodifikasinya ajaran tersebut sedemikian rupa sehinga menjadi ilm al-huduri (knowledge by presence) adalah Mulla Shadra. Mulla Shadra lahir di Syiraz, Persia pada tahun 1572 dan belajar pada guru-guru Isyraqi yang pada saat itu sedang menggejala di dalam tradisi filsafat Persia. Karya yang menjadi magnum opus Mulla Shadra adalah Hikmat al-Muta’aliyah (hikmat transendental) yang lebih dikenal dengan al-asfar al-arba’ah (empat perjalanan). Empat perjalanan yang dimaksud oleh Mulla Shadra dikemukakan dalam al-asfar al-arba’ah sebagai berikut: pertama perjalanan dari makhluk menuju Tuhan, kedua perjalanan menuju Tuhan melalui bimbingan Tuhan, ketiga perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui bimbingan Tuhan, dan yang keempat adalah perjalanan di dalam makhluk melalui bimbingan Tuhan.
Selain tentang para filusuf, Yunani juga berkembanng melalui beberapa generasi pendiri diantaranya:
DINASTI BANI UMAYYAH
Umayyah bin ‘Abd asy-Syams merupakan pendiri dari Bani Umayyah.
Umayyah merupakan ayah dari Harb bin Umayyah dan Abu al-’Ash bin Umayyah
Umayyah merupakan ayah dari Harb bin Umayyah dan Abu al-’Ash bin Umayyah
Kronologi Kerajaan Bani Ummaiyyah
• 661 M- Muawiyah menjadi khalifah dan mendirikan Bani Ummayyah.
• 670 M- Perluasan ke Afrika Utara. Penaklukan Kabul.
• 677 M- Penaklukan Samarkand dan Tirmiz. Serangan ke Konstantinopel.
• 680 M- Kematian Muawiyah. Yazid I menaiki takhta. Peristiwa pembunuhan Husain.
• 685 M- Khalifah Abdul-Malik menegaskan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
• 700 M- Kempen menentang kaum Barbar di Afrika Utara.
• 711 M- Penaklukan Spanyol, Sind, dan Transoxiana.
• 713 M- Penaklukan Multan.
• 716 M- Serangan ke Konstantinopel.
• 717 M- Umar bin Abdul-Aziz menjadi khalifah. Reformasi besar-besaran dijalankan.
• 725 M- Tentera Islam merebut Nimes di Perancis.
• 749 M- Kekalahan tentara Ummayyah di Kufah, Iraq ditangan tentara Abbasiyyah.
• 750 M- Damsyik direbut oleh tentara Abbasiyyah. Kejatuhan Kekhalifahan Bani Ummaiyyah.
• 661 M- Muawiyah menjadi khalifah dan mendirikan Bani Ummayyah.
• 670 M- Perluasan ke Afrika Utara. Penaklukan Kabul.
• 677 M- Penaklukan Samarkand dan Tirmiz. Serangan ke Konstantinopel.
• 680 M- Kematian Muawiyah. Yazid I menaiki takhta. Peristiwa pembunuhan Husain.
• 685 M- Khalifah Abdul-Malik menegaskan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
• 700 M- Kempen menentang kaum Barbar di Afrika Utara.
• 711 M- Penaklukan Spanyol, Sind, dan Transoxiana.
• 713 M- Penaklukan Multan.
• 716 M- Serangan ke Konstantinopel.
• 717 M- Umar bin Abdul-Aziz menjadi khalifah. Reformasi besar-besaran dijalankan.
• 725 M- Tentera Islam merebut Nimes di Perancis.
• 749 M- Kekalahan tentara Ummayyah di Kufah, Iraq ditangan tentara Abbasiyyah.
• 750 M- Damsyik direbut oleh tentara Abbasiyyah. Kejatuhan Kekhalifahan Bani Ummaiyyah.
Kekhalifahan Umayyah di Damaskus
1. MUAWIYAH I bin Abu Sufyan, 661-680
2. YAZID I bin Muawiyah, 680-683
3. MUAWIYAH II bin Yazid, 683-684
4. MARWAN I bin al-Hakam, 684-685
5. ABDUL-MALIK bin Marwan, 685-705
6. AL-WALID I bin Abdul-Malik, 705-715
7. SULAIMAN bin Abdul-Malik, 715-717
8. UMAR II bin Abdul-Aziz, 717-720
9. YAZID II bin Abdul-Malik, 720-724
10. HISYAM bin Abdul-Malik, 724-743
11. AL-WALID II bin Yazid II, 743-744
12. YAZID III bin al-Walid, 744
13. IBRAHIM bin al-Walid, 744
14. MARWAN II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira) 744-750
1. MUAWIYAH I bin Abu Sufyan, 661-680
2. YAZID I bin Muawiyah, 680-683
3. MUAWIYAH II bin Yazid, 683-684
4. MARWAN I bin al-Hakam, 684-685
5. ABDUL-MALIK bin Marwan, 685-705
6. AL-WALID I bin Abdul-Malik, 705-715
7. SULAIMAN bin Abdul-Malik, 715-717
8. UMAR II bin Abdul-Aziz, 717-720
9. YAZID II bin Abdul-Malik, 720-724
10. HISYAM bin Abdul-Malik, 724-743
11. AL-WALID II bin Yazid II, 743-744
12. YAZID III bin al-Walid, 744
13. IBRAHIM bin al-Walid, 744
14. MARWAN II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira) 744-750
Emir Umayyah di Kordoba
• Abd ar-Rahman I, 756-788
• Hisham I, 788-796
• al-Hakam I, 796-822
• Abd ar-Rahman II, 822-888
• Abdallah ibn Muhammad, 888-912
• Abd ar-Rahman III, 912-929
• Abd ar-Rahman I, 756-788
• Hisham I, 788-796
• al-Hakam I, 796-822
• Abd ar-Rahman II, 822-888
• Abdallah ibn Muhammad, 888-912
• Abd ar-Rahman III, 912-929
Kekhalifahan Umayyah di Kordoba
• Abd ar-Rahman III, 929-961
• Al-Hakam II, 961-976
• Hisham II, 976-1008
• Mohammed II, 1008-1009
• Suleiman, 1009-1010
• Hisham II, 1010-1012
• Suleiman, restored, 1012-1017
• Abd ar-Rahman IV, 1021-1022
• Abd ar-Rahman V, 1022-1023
• Muhammad III, 1023-1024
• Hisham III, 1027-1031
• Abd ar-Rahman III, 929-961
• Al-Hakam II, 961-976
• Hisham II, 976-1008
• Mohammed II, 1008-1009
• Suleiman, 1009-1010
• Hisham II, 1010-1012
• Suleiman, restored, 1012-1017
• Abd ar-Rahman IV, 1021-1022
• Abd ar-Rahman V, 1022-1023
• Muhammad III, 1023-1024
• Hisham III, 1027-1031
Peradaban Islam dan kebudayaan Yunani merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Mungkin keimpulan seperti itulah yang muncul ketika penulis membaca buku seorang kristenArab, Jamil Shaliba yang berjudul al-Falsafah al-Arabiyyah. Pilar-pilar peradaban Islam yang berhasil melahirkan filsuf, dokter, astronom, ahli matematika hingga hukum berkelas dunia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jasa-jasa ilmuan yang berasal dari kebudayaan pra-Islam, seperti kebudayaan Yunani, Persia dan India.
Pertautan Dengan Kebudayaan Pra-Islam
Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat pada 632 M, para shahabat berkumpul di Majlis Bani Tsaqifah untuk memilih seorang khalifah (pengganti Nabi). Melalui sebuah proses konsensus yang cukup panas dan menegangkan akhirnya muncul Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah pertama umat Islam. Estafet kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh Umar ibn Khattab. Pada masa Umar terjadi gelombang ekspansi untuk pertama kalinya. Tahun 635 M, kota Damaskus jatuh ke dalam kekuasaan Islam. Tahun 641, Aleksandria menyerah pada tentara Islam di bawah pimpinan ‘Amr Ibn al-‘Ash. Singkat kata, dengan terjadinya gelombang ekspansi pertama ini, semenanjungArab, Palestina, Suria, Irak, Persia dan Mesir sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Paska Umar, kekhalifahan dilanjutkan oleh Utsman ibn Affan, mantu Nabi Muhammad Saw. Namun karena terjadi kecemburuan kekuasaan akibat dari sikap nepotisme Utsman, kekuasaannya diakhiri dengan pembunuhan terhadap dirinya. Kekhalifahan umat Islam saat itu betul-betul mengalami ujian berat. Kemudian tampil Ali sebagai pengganti Utsman. Namun kepemimpinan Ali telah membuat kecewa kubu Utsman karena tidak berhasil mengusut kematian Utsman hingga tuntas. Kepemimpinan Ali ini menjadi puncak dari sistem kekhalifahan dalam sejarah Islam yang kemudian akhirnya digantikan dengan sistem dinasti.
Setelah terjadi perang saudara antara Ali dan Mu’awiyah yang menjadi gubernur Damaskus saat itu, konflik kekuasaan di tubuh kekhalifahan memuncak hingga akhirnya Ali pun dibunuh oleh kelompok yang berasal dari kubunya sendiri karena telah menerima tahkim (arbitrase) dari pihak Mu’awiyah. Pada 661 M, Mu’awiyah membangun dinasti Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi yang kedua. Perluasan kekuasaan yang sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan kembali setelah beberapa lama banyak mengurusi masalah internal.
Namun konflik internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan kekuasaan Bani Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih sembilanpuluh tahun dan kemudian diambil alih oleh Bani ‘Abbasiyah (keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-Muttallib – Paman Nabi). Bani Abbasiyah diwarisi kekuasaan yang cukup luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suriah, SemenanjungArabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan dan sebagian wilayah Asia Tengah. Di beberapa wilayah kekuasaan itu merupakan pusat kebudayaan besar seperti Yunani, Suryani, Persia dan India. Karenanya beberapa khalifah pada masa Bani Abbasiyah lebih memusatkan pada pengembangan pengetahuan.
Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasaArab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan besar Bait al-hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual. Sebuah perpustakaan yang sangat bagus sekali yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat. Para penerjemah yang pada umumnya adalah kamu Nasrani dan Yahudi bahkan penyembah bintang digaji dengan harga yang sangat tinggi.
Seperti yang dikatakan oleh Shaliba dalam bukunya, Al-falsafah Al-‘arabiyah, terbentuknya filsafat Islam terjadi dalam dua tahap. Pertama tahap penerjemahan dan kedua tahap produksi pengetahuan atau pemikiran. Setelah melewati tahap penerjemahan maka mulailah bermunculan filsuf-filsuf Islam yang mengambil jalur metode filsafat Yunani seperti yang dimulai dari al-Kindi hingga Ibnu Khaldun. Menurut Fazlur Rahman, yang disebut filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat Yunani harus dilihat dalam konteks hubungan “bentuk-materi.” Jadi filsafat Islam sebenarnya adalah adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam bentuk sistem yang bermerk Islam. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa filsafat Islam hanya merupakan carbon copy dari filsafat Yunani atau Helenisme. Sementara Shaliba yang kurang lebih sependapat dengan pendapat Rahman, ia mengatakan bahwa salah satu perbedaan filsafat Islam dengan Yunani ada pada maksud dan tujuannya. Menurutnya, tujuan dari filsafat Yunani adalah lebih dilatarbelakangi nilai estetis sementara dalam filsafat Islam karena dorongan ajaran agama (Islam).
Di antara buku-buku filsafat terpenting yang diterjemahkan ke dalam bahasaArab oleh tim yang terdiri atas Hunain, Hubaisy sepupu Hunain dan Isa ibn Yahya murid Hunain adalah Analytica posteriora karya Aristoteles, Synopsis of the Ethics karya Galen serta ringkasan karya-karya Plato seperti Sophist, Permenides, Politicus, Republic dan Laws. Sementara karya-karya Aristoteles seperti Categories, Hermeneutica, Generation and Corruption, Nichomachean Ethics diarabkan oleh Ishaq ibn Hunain dari bahasa Suryani. Selain proses penerjemahan, masih cukup banyak juga buku-buku Yunani dan Suryani yang ditafsirkan atau diringkas oleh para penerjemah yang kebetulan menguasai pengetahuan tentang isi buku tersebut.
Namun demikian, proses penerjemahan yang terjadi secara besar-besaran ini tidak semuanya berhasil mancapai hasil yang sukses sebagai sebuah terjemahan yang layak. Ada beberapa buku terjemahan yang bahkan menyulitkan pembaca untuk memahami isi buku. Di antara orang yang menderita akibat buruknys mutu sebuah terjemahan adalah Ibnu Sina. Menurut Jamil Shaliba, Ibnu Sina pernah membaca buku terjemahan Metafisika Aristoteles sebanyak empat puluh kali, tetapi ia sama sekali tidak dapat mengerti maksud dari tulisan tersebut. Hal ini setidaknya dikarenakan dua hal, pertama karena memang sulit dan begitu dalamnya tulisan Aristoteles tentang Metafisika dan kedua karena kesulitan proses penerjemahannnya ke dalam bahasaArab. Buruknya beberapa mutu terjemahan juga dikarenakan metode terjemahan yang terlalu harfiah dari bahasa non-Arab ke dalam bahasaArab. Ibnu Abi Usbu’aih pernah mengkategorikan tingkat mutu terjemahan ketika itu, yakni tingkat baik seperti terjemahan Hunain ibn Ishaq dan anaknya Ishaq Ibn Hunain, tingkat sedang ada pada terjemahan Ibnu Na’imah dan Tsabit ibn Qurrah. Dan tingkat yang ketiga adalah buruk, seperti yang ada pada terjemahan Ibn al-Bitriq.
Motivasi Gerakan Penerjemahan
Setidaknya ada dua motivasi yang mendorong gerakan penerjemahan yang sudah dimulai sejak zaman Bani Umayah dan kemudian menemukan puncaknya pada dinasti Bani ‘Abbasiyah. Pertama motovasi praktis dan kedua motivasi kultural. Pada motivasi yang pertama (ba’its ‘amali), ada kebutuhan pada bangsaArab saat itu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari luar Islam. Pengetahuan-pengetahuan tersebut secara praktis dapat membantu meringankan urusan-urusan yang berkenaan dengan hajat hidup umat Islam ketika itu. Yang dimaksud dengan pengetahuan-pengetahuan luar yang dibutuhkan oleh umat Islam saat itu adalah seperti ilmu-ilmu Kimia, kedokteran, fisika, matematika, dan falak (astronomi). Ilmu-ilmu ini secara praktis memang langsung berhubungan dengan hajat hidup umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti penentuan waktu Shalat, hukum faraidl (pembagian harta waris), masalah kesehatan dan lain sebagainya.
Motivasi yang kedua adalah motivasi kultural (ba’its tsaqafi). Ada kebutuhan pada masyarakat Islam untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan Persia, Yunani untuk menguatkan sistem hukum Islam dan menangkal aqidah yang datang dari luar Islam. Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar dalam dunia Islam yang meliputi aqidah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan ‘Abbasiyah mengangap perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal aqidah yang datang dari luar itu. Umat Islam dianjurkan untuk mempelajari logika Aristoteles, agar dapat berdebat dengan keyakinan yang datang dari luar.
Selain itu ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Ibn al-Nadim tentang motivasi penerjemahan buku-buku filsafat pada masa kekuasaan khalifah al-Ma’mun. Ia menceritakan bahwa pada suatu malam, khalifah al-Ma’mun bermimpi berjumpa dengan seorang laki-laki yang memakai pakaian putih, jidatnya botak, alisnya menyambung dan mata agak kebiru-biruan. Laki-laki ini duduk di atas singgasana khalifah al-Ma’mun. Kemudian khalifah al-Ma’mun bertanya kepada laki-laki itu, “siapa engkau?”. Laki-laki itu menjawab “aku Aristoteles.” Dalam mimpi itu, khalifah al-Ma’mun merasa sangat senang karena dapat bertemu dengan filsuf yang menjadi pujaannya. Kemudian al-Ma’mun bertanya kepada laki-laki yang mengaku sebagai Aristoteles, “wahai sang filsuf, aku ingin bertanya, apa itu ‘baik’?” Laki-laki itu menjawab: “baik itu adalah apa yang baik menurut akal.” “Kemudian apa lagi wahai sang filsuf ?”, khalifah bertanya lagi. “apa yang baik menurut syari’at” laki-laki itu menjawab lagi. “Kemudian apa lagi wahai sang filsuf?” khalifah bertanya lagi. “Apa yang baik menurut kebanyakan (jumhur)” laki-laki itu menjawab, dan tidak ada setelah itu.
Di balik gencarnya penerjemahan buku-buku Yunani yang dilakukan oleh umat Islam pada masa itu, ada sebuah bidang yang tidak terlalu diminati, yakni bidang sastra, seperti karya Homerus. Mengapa? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Di antaranya adalah karena adanya keyakinan dalam masyarakatArab bahwa sastraArab bersifat self sufficient, sehingga mereka tidak terlalu memperhatikan buku-buku sastra yang ada dalam bahasa Yunani. Selain itu sastra juga tidak memberikan pengaruh apa pun tehadap proses penguatan aqidah umat Islam. Namun argumentasi ini tidak terlalu kuat karena pada sisi yang lain umat Islam cukup gemar menerjemahkan buku-buku sastra yang berasal dari kebudayaan Persia dan India yang kebetulan beragama Majusi dan Dahriah. Sehingga muncul alasan yang lain bahwa tidak adanya minat umat Islam untuk menerjemahkan karya sastra Yunani lebih dikarenakan tidak cocoknya karya sastra Yunani bagi masyarakatArab bila dibandingkan dengan karya sastra dari Persia dan India. Sehingga dengan demikian, alasan tidak berkembangnya penerjemahan sastra Yunani tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja.
Pengaruh Karya-karya Terjemahan
Proses penerjemahan yang berlangsung selama kurang lebih dua abad telah menjadi berkah yang besar bagi umat Islam saat itu. Hal ini dapat dipahami karena proses penerjemahan ini menjadi mediator dalam dialog antara kebudayaan pengetahuan pra-Islam dengan umat Islam yang sedang haus ilmu. Khazanah kebudayaan besar yang meliputi Yunani, Persia dan India sedang mengalami kesepian di negerinya sendiri, di dunia Islam, karya-karya tersebut mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa. Sampai-sampai seorang khalifah mau membayar sebuah buku yang sudah diterjemahkan dengan nilai emas seberat buku tersebut. Selain itu, motivasi ini juga dilatarbelakangi oleh keyakinan umat Islam saat itu bahwa peradaban hanya dapat dibangun dengan ilmu pengetahuan yang kuat. Dan dalam melakukan proses itu, Islam yang baru saja berdiri tidak dapat melakukan tugas itu sendirian, melainkan harus dibantu dengan khazanah kebudayaan besar yang ada sebelumnya.
Pengaruh dari proses penerjemahan ini dapat kita lihat pada perkembangan dunia kedokteran, astronomi, matematika, hukum (qiyas dalam ilmu fiqih), politik dan filsafat itu sendiri. Dalam kedokteran, kita mengenal Ibnu Sina, politik pada al-Farabi, matematika pada al-Biruni, astronomi pada Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, sejarah peradaban pada Ibnu Khaldun dan masih banyak lagi para sarjana muslim klasik yang telah menorehkan tinta emasnya bagi peradaban Islam karena bersentuhan dengan karya-karya kebudayaan pra-Islam yang sudah diterjemahkan. Dalam proses penerjemahan itu juga terjadi penyerapan bahasa Yunani yang kemudian menjadi bahasaArab. Seperti kata al-falsafah, al-musiqy, al-kimya, al-jigrafiyah dan lainnya.
Perpaduan antara semangat umat Islam dengan kebudayaan pra-Islam melahirkan sebuah sintesa yang tidak sederhana. Sintesa yang dihasilkan bukan hanya sekedar penjiplakan pengetahuan sebelumnya yang kemudian diberi label Islam karena telah diterjemahkan ke dalam bahasaArab. Lebih dari itu, sintesa ini juga meliputi proses reproduksi yang giat dilakukan oleh para ilmuan muslim. Karya-karya filsafat yang diterjemahkan dari bahasa Yunani tidak berhenti hanya pada hasil terjemahan namun telah merangsang para intelektual muslim untuk mengomentari atau sekedar memberikan sebuah penafsiran atas karya-karya filsuf Yunani itu.
Warna kebudayaan ilmiah pra-Islam yang dominan pada pandangan dunia umat Islam dapat kita lihat dalam bentuk corak berpikir rasional atau dalam metode historis yang dikembangkan oleh para periwayat hadits. Dalam teks-teks yang ditulis pada masa itu, cukup banyak metode atau tradisi filosofis yang tersaji dalam kajian-kajian ilmu alam. Terutama pada kajian-kajian yang mendasarkan diri pada matematika. Hukum qiyas atau analogi adalah salah satu pengaruh logika yang dapat kita lihat dalam wilayah fikih. Pengaruh-pengaruh ini menjadi inheren dalam kebudayaan Islam sehingga dalam proses sejarah yang panjang kadang kita sulit untuk membedakan mana yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi.
Maka dari itu dapat dikatakan bahwa Yunani itu merup[akan dalah datu nmegara pelopor berkembangnya islam di dunia. Karena dari data diatas dapat kita lihjat bahwa Yunani banyak dipengaruhi oleh banyak Filodof yang menghasilkan beperapa pemikiran tentang perkembangan Islam, ilmu pengetahuan, budaya, astronomi,dll.
Daftar Pustaka
Shaliba, Jamil, al-Falsafah al-‘Arabiyyah, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, 1973
Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta 2000
-------, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, UI Press, 1985
Meyer, Frederick, A History of Ancient and Medieval Philosophy, American Book Company, 1950
Leaman, Oliver, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, diterjemahkan oleh Musa Kazhim dan Arif Mulyadi dan diterbitkan oleh Mizan 2002, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis
Fakhry,Majid, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, diterjemahkan oleh Zaimul Am dan diterbitkan oleh Mizan 2002, Sejarah Filsfat Islam Sebuah Peta Kronologis
Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999
Rahman, Fazlur, Islam, Penerbit Pustaka, Jakarta, 1997
Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Paramadina, Jakarta, 2002
Hairi Yazdi, Mahdi, The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence, State University of New York Press, Albany, 1992
Frederick Meyer, A History of Ancient and Medieval Philosophy, hal. 391, American Book Company, 1950